Lurah Dibela Saat Warga Bermasalah, Tapi Ditinggalkan Saat Ia Terjatuh

JENAWI | PEKANBARU — Fenomena menarik sekaligus memprihatinkan terjadi di salah satu Kelurahan di Kota Pekanbaru. Seorang lurah yang dikenal aktif membela dan mengayomi warganya, justru dijatuhkan oleh sebagian masyarakat dan tokoh lingkungan saat dirinya menghadapi persoalan pribadi maupun jabatan.

Selama menjabat, sang Lurah dikenal responsif terhadap keluhan masyarakat. Ia sering turun langsung ke lapangan, menyelesaikan konflik antarwarga, dan menengahi berbagai masalah sosial. Namun, loyalitas dan pengabdiannya seolah tak berbalas. Begitu dirinya diterpa persoalan, sebagian masyarakat dan beberapa tokoh justru menjauh, bahkan ikut memperkeruh keadaan dengan menjelek-jelekkannya di belakang.

Padahal, semestinya hubungan antara aparatur pemerintah dan masyarakat dibangun atas dasar kepercayaan, komunikasi terbuka, dan rasa saling menghormati. Ketika seorang pemimpin lokal jatuh atau sedang menghadapi masalah, dukungan moral dari masyarakat menjadi bukti kedewasaan sosial dan kebersamaan yang sesungguhnya.

Sejumlah pengamat tata kelola pemerintahan menilai, kasus seperti ini mencerminkan rapuhnya solidaritas sosial di tingkat akar rumput. Aparatur sering kali menjadi “pahlawan sementara”—dipuji ketika memberi manfaat, namun ditinggalkan ketika menghadapi ujian.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih melihat pemimpin hanya dari sisi fungsional, bukan kemanusiaan. Ketika pemimpin tergelincir, bukan dibantu berdiri, malah dijatuhkan lebih dalam,” ujar seorang pemerhati birokrasi di Pekanbaru.

Peristiwa ini menjadi cermin bagi semua pihak bahwa menjaga integritas dan komunikasi dua arah antara Lurah dan masyarakat adalah kunci. Seorang lurah tidak cukup hanya bekerja dengan baik; ia juga perlu membangun kesadaran kolektif agar masyarakat turut merasa memiliki dan bertanggung jawab atas kepemimpinan di wilayahnya.

Belum lagi cerita istri sang Lurah yang juga seorang Ketua TP PKK yang mengalami nasib ga kalah serunya dengan sang suami. Mungkin di edisi berikutnya akan kita kupas cerita tentang sang istri semasa menjadi Bu Lurah.

Kisah ini seharusnya menjadi refleksi bersama: bagaimana publik memperlakukan aparatur yang telah mengabdi dengan tulus. Pemerintahan yang kuat lahir bukan hanya dari Lurah yang amanah, tetapi juga dari masyarakat yang setia menjaga dan menghormati pemimpinnya — bahkan di saat terburuk sekalipun.


Komentar