Kisah Perempuan di Balik Lampu Hotel Pekanbaru, Antara Nasib dan Aib

Gambar hanya ilustrasi 

JENAWI | Pekanbaru - Malam di Pekanbaru tak pernah benar-benar sepi. Lampu-lampu hotel menyala terang, menembus jendela kaca yang memantulkan bayangan kehidupan kota — gemerlap di luar, gelap di dalam. Di salah satu kamar hotel di jalan Tuanku Tambusai, seorang perempuan bernama Dea (samaran_red) menatap ponselnya. Notifikasi pesan masuk, tanda bahwa malamnya baru saja dimulai.

Dulu ia hanya ibu rumah tangga biasa. Ia menikah muda, berharap hidup sederhana tapi bahagia. Namun rumah tangga itu hancur ketika suaminya meninggalkannya bersama dua anak kecil. Tidak ada pekerjaan tetap, tidak ada rumah sendiri. Dalam tekanan ekonomi dan luka batin, Maya mencari jalan pintas yang kelak membuatnya kehilangan arah — menjual tubuh untuk bertahan hidup.

“Awalnya cuma diajak teman,” katanya pelan. “Katanya, daripada minta-minta, mending kerja kayak gini. Uangnya cepat, gak ribet.”

"Meski perlu biaya tuk perawatan tubuh rutin, kita dapat dua benefit, yaitu seks dan uang," jelasnya.

Modus yang dijalani Dea kini menjadi pola yang lumrah di Pekanbaru. Perempuan berpindah dari satu hotel ke hotel lain, membawa tas kecil dan rahasia besar. Mereka punya “pasangan”, laki-laki yang disebut pacar, yang sejatinya berperan sebagai pelindung sekaligus pengatur ritme kerja. Hubungan mereka tanpa status, tapi penuh kepentingan: seks untuk keamanan, uang untuk perlindungan.

"Banyak yang menjalani profesi seperti saya, dan semuanya berjalan lancar," ujarnya lagi.

Hotel-hotel tempat Dea menginap tak pernah bertanya banyak. Ia membayar tunai, check-in dengan senyum, dan berpindah tempat setiap beberapa minggu. 

“Pihak hotel tahu, tapi diam saja. Mereka dapat uang, kami dapat tempat,” katanya lirih.

Fenomena ini bukan sekadar kisah satu orang. Ini potret kehidupan bayangan di tengah kota yang menyebut dirinya ‘Madani’. Di luar, baliho moral dan spanduk keagamaan menghiasi jalanan. Tapi di balik pintu kamar empuk dan harum, nilai-nilai itu remuk dalam senyap.

Tidak ada razia berarti, tidak ada pengawasan ketat terhadap hotel-hotel yang menjadi “rumah sementara” bagi praktik prostitusi terselubung ini. Padahal, jika mau jujur, semua tahu — hanya belum ada yang serius menyentuhnya.

Ironinya, masyarakat sering kali cepat menghakimi para pelaku, tanpa memahami akar persoalan. Mereka lupa bahwa di balik tindakan itu ada rasa lapar, kecewa, dan putus asa yang sistemik.

Kini Dea terus melanjutkan hidupnya. Ia sadar setiap malam yang dilaluinya menambah dosa dan rasa sesal, tapi ia juga tahu tak ada jalan keluar yang mudah. 

“Saya mau berhenti, tapi harus membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, sekolah anak,” ucapnya menahan air mata.

Fenomena ini menggugat nurani kita semua. Tentang kegagalan keluarga, lemahnya ekonomi, dan rapuhnya sistem sosial. Tentang kota yang membiarkan para perempuannya jatuh tanpa tangan yang menolong.

Pekanbaru bisa terus memajang julukan “Kota Madani” di gerbangnya. Tapi sejatinya, kemadani-an bukan diukur dari spanduk, melainkan dari bagaimana sebuah kota menjaga martabat perempuan miskin dan tersesatnya manusia.

Karena ketika perempuan seperti Dea dibiarkan tenggelam dalam gelap, maka yang padam bukan hanya lampu hotel — tapi juga hati nurani seluruh warga kota.

Semoga pemerintah kota yang baru saat ini bisa benar-benar membersihkan julukan-julukan negatif yang kerap melekat hingga saat ini.


Komentar