Kisah Klasik Satuan Pengamanan di Pekanbaru

 

“Kami Penjaga, Tapi Siapa yang Menjaga Kami?”

JENAWI | PEKANBARU - Pagi di Pekanbaru masih berkabut tipis ketika Junaidi, seorang Satpam di salah satu kawasan pergudangan Pekanbaru, berdiri di depan gerbang utama. Seragam krem-coklatnya rapi, sepatu hitamnya berkilat, dan peluit di lehernya berayun lembut setiap kali angin berhembus. Di pinggang kirinya, tergantung tongkat usang dari kayu berbalut plastik; di pinggang kanan, ada borgol berkarat terbungkus sarung yang mulai usang — wujud tanggung jawab sebagai petugas keamanan meski tak lagi baru.

“Sudah biasa, bang. Kami mulai jaga jam enam pagi, kadang belum sempat sarapan,” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang tampak tegar, tapi menyimpan lelah yang tak diucapkan.

Bagi sebagian orang, profesi Satpam mungkin terlihat sederhana: berdiri, memberi salam, menegur sopan. Tapi bagi Junaidi, profesi ini bukan sekadar pekerjaan — ini tentang tanggung jawab menjaga orang lain, meski dirinya sendiri jarang dijaga.

“Kadang kami diolok-olok, dianggap cuma penjaga pintu. Tapi waktu ada ribut, pencurian, atau orang mabuk datang, siapa yang pertama maju?” katanya lirih. “Ya, kami.”

Di lapangan, penghargaan terhadap profesi Satpam masih jauh dari harapan. Banyak yang memandang rendah, seolah mereka tak punya keahlian. Padahal, sebelum berdiri di pos, mereka menjalani pelatihan disiplin, bela diri, hingga manajemen krisis. Mereka tahu cara menenangkan massa, memadamkan api kecil, hingga memberi pertolongan pertama.

Namun di balik kedisiplinan itu, ada persoalan klasik: kesejahteraan.

Gaji yang diterima tak selalu sesuai harapan. Di atas kertas, upah mereka seharusnya mengikuti standar perusahaan pengguna jasa. Tapi setelah melewati berbagai potongan, yang tersisa seringkali jauh di bawah harapan.

“Potongan ini-itu. Tapi kami yang di bawah ini jarang tahu hitungannya,” ujar Junaidi sambil menggeleng pelan.

Meski begitu, ia tetap bertahan.

“Ada kepuasan tersendiri kalau area aman, kalau orang keluar masuk dengan tertib. Kadang kami juga dapat ucapan terima kasih kecil dari warga, itu saja sudah cukup," ujar Junaidi.

Namun di matanya, tersimpan harapan yang besar — agar suatu hari, profesi Satpam tak lagi dianggap “pekerjaan non-skill”. Agar penghormatan dan kesejahteraan mereka setara dengan tanggung jawab besar yang mereka pikul setiap hari.

“Kalau tidak ada kami, siapa yang berdiri di gerbang?” katanya menatap jauh, sebelum kembali meniup peluit dan mengatur kendaraan yang keluar masuk area pergudangan.

Di bawah terik matahari Pekanbaru yang mulai menyengat, Junaidi berdiri tegak. Di matanya, tidak ada keluhan. Yang ada hanya keteguhan seorang penjaga — penjaga yang mungkin tak pernah dijaga, tapi tetap setia melindungi.

"Ikut pendidikan dasar (Diksar) bayar, masuk kerja kami bayar, dipindah lokasi kerja oleh perusahaan yang sama kami bayar, pas gajian terkadang juga pernah ada yang harus kami bayar sama komandan," ujar Junaidi.

"Kami ga bisa apa-apa, jalani aja sejauh mana kami mampu menjalani, dan ga ada yang peduli dengan hal ini yang sudah berjalan begitu lama," lanjut Junaidi.

"Ini baru masalah kesejahteraan, belum lagi masalah kinerja dan situasi di lingkungan kerja yang membuat kita harus mengurut dada, mengingat apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai kepala keluarga, salah satunya adalah punya penghasilan," tutup Junaidi.

---------------------------------------------------------------------

Junaidi adalah potret seorang satpam di Pekanbaru. Junaidi merupakan figur satpam yang teguh dan tegar menjalani profesinya sebagai petugas keamanan meski dirampas hak-haknya. Masih banyak Junaidi di Kota Pekanbaru yang bernasib sama.



Komentar