![]() |
| Ilustrasi pagar tembok |
JENAWI | Pekanbaru - Di tengah padatnya permukiman dan makin sempitnya ruang interaksi, sebuah fenomena sosial yang mengkhawatirkan kian tampak jelas: masyarakat lebih memilih membangun pagar tembok yang tinggi daripada menjaga “pagar mangkok” yang sejak dulu menjadi simbol keakraban warga. Pergeseran ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi pertanda serius rapuhnya fondasi sosial di akar masyarakat.
Kini, batas antar rumah bukan hanya fisik, melainkan juga emosional. Suara sapa yang dulu mengalir natural mulai hilang. Piring berisi pangan yang dulu berkeliling antar tetangga menghilang dari budaya. Yang tersisa adalah pintu-pintu yang tertutup, tembok yang kian meninggi, dan hati yang makin sulit disentuh.
Retaknya Rasa Percaya: Tanda Sosial yang Diabaikan
Fenomena tembok tinggi bukan sekadar masalah keamanan. Ia merefleksikan sebuah perubahan mentalitas: rasa tidak percaya, sikap saling curiga, dan keengganan terlibat dalam kehidupan bersama. Masyarakat seolah secara perlahan menerima bahwa hidup yang aman adalah hidup yang terpisah.
Padahal, keberadaan pagar tembok yang kian masif justru menegaskan satu hal: bahwa relasi sosial kita tengah mengalami kemunduran. Nilai gotong royong yang dulu menjadi identitas utama mulai redup oleh egoisme dan kepentingan diri. “Asal rumahku aman, urusan orang lain bukan tanggung jawabku.” Sikap itu kini menjalar tanpa disadari.
Akhir Zaman yang Diprediksi: Ketika Lingkungan Menjadi Asing
Banyak ulama dan tokoh sosial telah lama mengingatkan, salah satu tanda akhir zaman adalah pudarnya kepedulian sosial. Kini, gejala itu tampak jelas di depan mata:
* tetangga tak lagi saling mengenal,
* anak-anak tumbuh tanpa figur komunitas,
* masalah sosial dianggap urusan pribadi,
* dan tragedi di sebelah rumah tak lagi menyentuh nurani.
Situasi ini bukan hanya melemahkan rasa kemanusiaan, tetapi juga mematikan fungsi sosial lingkungan yang selama ini menjadi benteng dari berbagai penyimpangan dan krisis moral.
Ketika Tembok Makin Tinggi, Masalah Makin Dekat
Ironisnya, banyak warga justru merasa lebih aman ketika memisahkan diri. Namun, tembok setinggi apa pun tidak dapat menahan dampak sosial yang lahir dari masyarakat yang tercerai-berai: kriminalitas, konflik kecil yang membesar, hilangnya empati, dan anak-anak yang tumbuh tanpa pembelajaran sosial.
Sementara itu, “pagar mangkok” — budaya saling berbagi, saling menjaga, dan saling menguatkan — justru terbukti lebih efektif membangun lingkungan yang aman dan sehat. Tetapi budaya itu kini terpinggirkan oleh pola hidup modern yang dingin dan individualistis.
Saatnya Menyadari: Tembok Bukan Solusi, Kebersamaan Adalah Kekuatan
Kondisi sosial yang mengarah pada keterasingan ini tidak bisa terus dibiarkan. Jika tren ini berlanjut, kita bukan hanya kehilangan satu budaya, tetapi menghancurkan akar yang selama ini menjaga masyarakat dari perpecahan dan kerawanan sosial.
Kembalinya “pagar mangkok” bukan tentang membawa nostalgia masa lalu, melainkan memulihkan kesadaran bahwa keamanan sejati lahir dari solidaritas, bukan dari isolasi.
Bahwa ketenangan lingkungan muncul dari hubungan yang sehat, bukan dari tembok yang kokoh.
Dan bahwa nilai kemanusiaan hanya tumbuh ketika kita membuka diri, bukan ketika kita menarik diri.
Pada akhirnya, masyarakat bisa jadi membutuhkan pagar tembok untuk melindungi rumah.
Namun jika pagar hati ikut ditutup, maka yang hancur bukan hanya relasi sosial —tetapi masa depan kita sebagai sebuah komunitas.

Komentar
Posting Komentar