JENAWI | Bitung — Seperti yang diberitakan sebelumnya bahwa tragedi ini terjadi diawali dengan candaan. Ini sebenarnya bisa dicegah, dan ada tiga pelajaran besar yang patut kita tarik:
1. Minuman keras + remaja + emosi = resep bencana
Alkohol menurunkan inhibisi dan memperbesar reaksi emosional. Di usia 15 tahun, otak prefrontal (bagian yang mengendalikan impuls) belum matang sepenuhnya. Candaan ringan bisa berubah jadi ancaman nyawa dalam hitungan detik. Imbauan polisi agar remaja jauhi miras bukan sekadar formalitas — ini data empiris: mayoritas kasus penganiayaan berat di Indonesia melibatkan alkohol.
2. Respons cepat Tarsius layak diacungi jempol
Kurang dari 12 jam, pelaku sudah ditangkap, barang bukti diamankan, pengakuan diperoleh. Ini menunjukkan:
- Koordinasi lapangan yang solid
- Pemanfaatan intelijen lokal (warga melapor cepat)
- Tidak ada “toleransi” karena pelaku masih di bawah umur
Standar ini harus jadi benchmark nasional.
3. Hukuman harus edukatif, bukan hanya retributif
CH baru 15 tahun. Pasal 338 KUHP (pembunuhan) atau 351 ayat 2 (penganiayaan berat) bisa diterapkan, tapi anak di bawah umur masuk sistem peradilan pidana anak (UU 11/2012). Idealnya:
- Rehabilitasi psikologis + konseling keluarga
- Pendidikan keterampilan di LPKA
- Restorative justice jika korban/keluarga setuju
Tujuannya: mencegah CH jadi “produk gagal” sistem pemasyarakatan dewasa nanti.
Saran konkret untuk masyarakat Girian dan sekitarnya:
- Orang tua/workplace: larang keras miras di lingkungan kerja (termasuk usaha rias pengantin!).
- RT/RW: buat posko malam minggu, patroli warga, catat anak-anak yang keluar malam.
- Sekolah: masukkan modul “manajemen amarah” dan simulasi konflik dalam kurikulum P5.
Kasus ini bukan cuma berita kriminal — ini alarm keras bahwa “santai-santai” di Bitung bisa berubah maut kalau kita abaikan tanda-tanda kecil: candaan kasar, miras, senjata tajam di dekat tangan.
Semoga NB cepat pulih, CH dapat pembinaan yang tepat, dan Bitung jadi lebih aman.
Komentar
Posting Komentar