Mengapa Orang Bodoh Jadi Pemimpin

Gambar hanya ilustrasi 

JENAWI | Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi politik, psikologi, dan sosial. Secara umum, "orang bodoh" di sini bisa diartikan sebagai individu yang kurang kompeten, tidak berpengetahuan luas, atau membuat keputusan buruk, tapi tetap bisa naik jadi pemimpin. Ini bukan fenomena baru—filosof seperti Niccolò Machiavelli sudah membahasnya berabad-abad lalu. Berdasarkan berbagai sumber, ada beberapa alasan utama mengapa hal ini bisa terjadi. Saya akan jelaskan secara ringkas dan seimbang, tanpa menghakimi siapa pun, karena "bodoh" sering subjektif dan tergantung konteks.

1. Sistem Demokrasi dan Popularitas

Dalam demokrasi, pemimpin dipilih berdasarkan suara mayoritas, bukan selalu kecerdasan atau kompetensi. Orang yang karismatik, pandai berbicara, atau memanfaatkan emosi massa bisa menang meski kurang ahli. Contoh: Mereka mungkin fokus pada isu sederhana seperti identitas agama, etnis, atau janji populis, yang lebih mudah dicerna daripada kebijakan kompleks. Selain itu, di era media sosial, citra dan kampanye viral lebih penting daripada substansi.

2. Efek Psikologis seperti Dunning-Kruger

Efek Dunning-Kruger menjelaskan bahwa orang kurang kompeten sering overconfident (merasa diri paling pintar), sementara orang cerdas justru meragukan diri sendiri. Akibatnya, yang "bodoh" lebih berani maju dan ambil risiko, sementara yang pintar ragu-ragu. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa orang kompeten sering dianggap kurang karismatik sebagai pemimpin. Ini juga berlaku di perusahaan atau politik: Promosi sering berdasarkan networking atau keberanian, bukan kemampuan.

3. Manipulasi dan Kekuasaan ala Machiavelli

Machiavelli dalam bukunya "The Prince" bilang bahwa pemimpin tak perlu pintar secara intelektual, asal pintar memanipulasi orang. Orang "bodoh" bisa naik karena memahami naluri dasar manusia, seperti ketakutan atau harapan, dan memanfaatkannya untuk bujuk massa. Mereka sering abaikan etika demi kekuasaan. Di konteks modern, ini terlihat pada pemimpin yang gunakan propaganda atau korupsi untuk pertahankan posisi.

4. Kemiskinan, Kebodohan Massa, dan Siklus Vicious

Pemimpin "bodoh" sering lahir dari pemilih yang kurang terdidik atau miskin, yang mudah dimanipulasi. Kemiskinan dan kebodohan dipelihara agar rakyat tetap bergantung, sehingga pemimpin bisa janjikan bantuan sederhana (seperti sembako) daripada reformasi besar. Ini jadi siklus: Rakyat bodoh pilih pemimpin bodoh, yang kemudian perburuk kondisi. Fanatisme agama atau identitas juga dimanfaatkan untuk kendalikan massa.

5. Perspektif Agama dan Budaya

Dalam Islam, misalnya, hadis Nabi Muhammad SAW sebut bahwa pemimpin bodoh adalah tanda akhir zaman (kiamat), di mana orang tak berilmu bicara tanpa dasar, sebabkan kerusakan. Ini bukan prediksi literal, tapi peringatan agar umat pilih pemimpin bijak. Di budaya lain, serupa: Kekuasaan sering jatuh ke tangan yang ambisius, bukan yang layak.

6. Faktor Lain: Nepotisme dan Korupsi

Di banyak negara, termasuk Indonesia, nepotisme (KKN: Korupsi, Kolusi, Nepotisme) memungkinkan orang kurang kompeten naik karena hubungan keluarga atau politik, bukan merit. Ini dikombinasikan dengan otoritarianisme, di mana kritik diredam, sehingga "kebodohan" bertahan.

Pada akhirnya, ini bukan berarti semua pemimpin bodoh—banyak yang sukses karena adaptasi atau keberuntungan. Solusinya? Pendidikan politik yang lebih baik, transparansi, dan pemilih yang kritis.




Salam sehat

Komentar